Suami. Ia sesosok yang begitu Allah muliakan. Bahkan jikalau diperbolehkan untuk bersujud kepada hamba, maka Rasul akan memerintahkan para istri untuk bersujud kepada suaminya. Bukan tak ada maksud, perintah ini lahir dari Rasul untuk menitikberatkan betapa penting ketaatan seorang istri kepada suami.
Suami. Itulah sosok yang paling dirindukan seorang perempuan yang ingin mengakhiri masa lajangnya. Ia dinantikan sebagai sosok tempat bersandar. Sosok untuk mencinta dan dicinta. Ia teman sekaligus sahabat impian. Pelipur lara, penghapus duka dan tempat hangat untuk tertawa.
Suami. Ia dirindu untuk hadir. Ia dimimpikan dalam sosok pangeran berkuda putih yang siap menyelamatkan sang putri yang lama terjebak di kubangan masalah pribadi. Ia hadir sebagai satu-satunya solusi. Ia dinanti layaknya sebagai juru selamat.
Demikiankah sejatinya?
Lalu bagaimana ceritanya bilamana yang datang bukan pangeran berkuda putih? Atau sesosok pangeran, namun rubah di dalam hatinya. Ia bukan seperti kisah “Beauty and The Beast” Sang pangeran tampan yang buruk rupa, namun baik hatinya. Namun ternyata ia rupawan berhati buruk. Bagaimanakah jika demikian sosok yang kita jumpai?
Adalah seorang publik figur terkemuka di negeri ini. Cantik bukan kepalang. Terawat dari helai rambut paling atas hingga kaki paling bawah. Tak ada cacat. Semua terawat. Tapi sayang seribu sayang, wajahnya yang cantik, tak membuat suaminya hanya melabuhkan hati kepadanya. Sang suami sering bergonta-ganti pasangan. Tak cukup itu, sang istri juga kerap dijadikan ‘martabak’. Dipergauli depan dan belakang.
Sang publik figur tak dapat berbuat banyak. Tersiksa jelas. Tapi apa daya, semua fasilitas dan materi dibawah kendali suami. Jadi untuk sementara ia memilih sikap untuk menahan diri. Meringis dalam hati.
Ternyata sang publik figur tidak sendiri. Adalah M, seorang muslimah yang telah menikah selama 10 tahun. Awalnya ia berobat ke rumah sakit karena adanya nyeri tak tertahankan di bagian belakang. Ketika ditanya dokter kenapa anusnya berantakan, ia tak menjawab. Dikatakannya berbagai alasan tak masuk akal.
Kemudian sang dokter mengajaknya berbicara empat mata. Dalam tangis yang tak tertahankan, diungkapkanlah apa yang terjadi selama sepuluh tahun pernikahannya. Ia selama ini melayani suaminya tidak hanya bagian depan, tetapi juga bagian belakang. Sepuluh tahun sudah, dan rusaklah duburnya. Selama ini ia hanya mampu diam. Meski ia tahu itu adalah perihal yang haram.
Ada banyak cerita kelam yang demikian. Tersimpan rapi dalam bilik-bilik hati perempuan. Ada lelaki yang kerap ringan tangan. Tubuh istri dijadikan pelampiasan. Ada juga laki-laki yang kerap ‘tidur’ sembarangan. Sang istri hanya bisa terdiam. Hanya satu jawaban : takut kehilangan.
Demikian sudah, jika kemaksiatan di dalam rumah tangga dibiarkan, yang terjadi adalah penghambaan. Bukan kepada-Nya, tetapi kepada suami. Jelas itu dilarang. Rasul dengan serta merta menegaskan dalam sabdanya, “tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan.”
Pernikahan sesungguhnya bukan merupakan barang menakutkan. Tetapi, ia juga bukan sebuah akhir dari tujuan. Pernikahan merupakan sebuah permulaan. Sebuah jalan bagi kita, dengan berpasangan menuju satu tujuan : keridhaan Tuhan.
Tetapi terkadang kita lupa menyiapkan kesudahannya. Apa yang akan dibangun setelah menikah. Apa yang menjadi hakikat dan tujuan dibalik pernikahan. Apa yang harus ada dan yang tidak boleh terjadi.
Lantas kemudian, bila di dalam pernikahan ada banyak larangan Allah yang dilakukan, masih pantaskan kita mempertahankan? Bila yang terjadi adalah penghambaan kepada makhluk, pantaskah ia dikedepankan?
Belajar Kepada Abdullah bin Abu Bakar
Kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq kita belajar tentang pernikahan. Ia paham benar, pernikahan adalah proses untuk berpartner dalam kebaikan. Tak boleh ada kemaksiatan didalamnya. Bahkan standarnya lebih tinggi lagi. Tak boleh ada kelalaian karenanya.
Adalah Abdullah bin Abu Bakar, anak dari sang Khalifah pertama kaum muslimin, menikah dengan seorang perempuan sholihah, cantik, pintar dan memiliki nasab yang mulia lagi kaya raya. Atikah binti Zaid, nama gadis Makkah tersebut.
Akan tetapi sayangnya, kerupawanan Atikah membuat Abdullah terlena. Pada suatu kesempatan, Abu Bakar Ash-Shiddiq hendak mengajak Abdullah untuk bersama-sama shalat berjamaah di masjid. Namun sayup-sayup di dengarnya Abdullah tengah bersenda gurau bersama perempuan yang baru dinikahinya itu. Ia mengurungkan niatnya dan pergi sendirian ke masjid.
Usai shalat, Abu Bakar mendapati anaknya masih bermesraan dengan sang istri. Ia kemudian memanggil anaknya dan bertanya, “wahai Abdullah, apakah kamu sudah shalat berjamaah?” Abdullah pun menggeleng.
Maka dengan serta merta Abu Bakar memerintahkan anaknya untuk bercerai dari Atikah. “Wahai Abdullah, Atikah telah merepotkanmu di jalan Allah, maka ceraikanlah ia,” begitu titah sang ayah keluar. Tanpa banyak bicara, Abdullah pun menceraikan istrinya. Berat memang, tetapi ia sadar bahwa kecintaannya kepada Atikah telah membuatnya lalai kepada-Nya. Itu tidak semestinya terjadi.
Usai bercerai, Abdullah berbenah diri. Ia berkomitmen untuk menjadi pribadi yang lebih shalih dan taat. Demikianpula dengan Atikah. Sadar bahwa selama ini dirinya telah membuat suaminya lalai kepada-Nya, ia ikut memperbaiki diri.
Mendengar keadaan itu, Abu Bakar memerintahkan anaknya untuk kembali rujuk dengan Atikah. Abdullah pun memenuhi perintah itu dengan penuh suka cita. Mereka kembali menjadi sepasang suami istri. Meski demikian, mereka sadar bahwa masa lalu tak boleh terulang. Allah harus berada di atas segalanya. Kecintaan terhadap suami ataupun istri, tak boleh berada di atas cinta kepada-Nya.
Ketaatan memang mesti dilakukan, tetapi bukan penghambaan. Sejatinya penghambaan hanya kepada Allah. Bukan kepada makhluk-Nya. Pernikahan adalah bersatu padunya insan untuk bersama-sama menghamba kepada-Nya. Sinergi kekuatan dua orang hamba, agar lebih erat beribadah kepada-Nya. Jadi tak boleh ada penghambaan, selain kepada-Nya.
Fitriyah Nur Fadilah.